Legenda Dewa Harem

Chapter 97: Cukup Aku Seorang Untuk Menghajar Kalian Semua

Sepanjang perjalanan mereka, Randika hanya menatap Inggrid berwajah dingin itu.

"Sudahlah sayang, sampai kapan kau akan membohongi dirimu seperti itu? Aku tahu hatimu itu milikku seorang." Kata Randika sambil tersenyum.

Mendengar hal itu, si supir taksi mengatakan. "Suamimu benar-benar orang yang perhatian ya."

Di saat Inggrid belum sempat berkata apa-apa, Randika dengan cepat mengatakan. "Hahaha kau benar. Kita mungkin terlihat tidak akur di luar tetapi di dalam kamar kami sangat akur."

Bajingan, siapa yang memangnya ingin akur sama kamu!

Inggrid hanya menggigit bibir bawahnya dengan kuat, dia tahu tidak bisa menang dengan Randika kalau adu mulut. Dia hanya mengabaikannya dan mengeluarkan buku kecil dari balik jasnya dan mulai mempelajari detail kontraknya.

"Kalian bukan orang sini ya?" Si supir taksi mulai membuka percakapan.

"Benar pak, kau punya mata yang bagus." Jawab Randika.

"Hahaha setelah bertahun-tahun menyupir kau akan bertemu dengan seluruh macam orang. Kadang aku sampai bingung." Si supir mulai menceritakan pengalamannya. "Dan seharusnya kalian datang ke kota besar ini untuk berbisnis. Aku bisa melihatnya dari betapa seriusnya istrimu itu."

"Hahaha dia memang sedikit gila kerja." Randika menjawab sambil tertawa. Namun, tiba-tiba pahanya terasa sakit dan ternyata Inggrid sedang mencubitnya!

Randika hampir berteriak kesakitan dan Inggrid melakukan penyiksaan ini tanpa memalingkan wajahnya.

Randika lalu berpikir, apakah istrinya ini akan secemburu dan menakutkan seperti ini ketika mereka beneran menikah? Randika sadar bahwa mereka hanya menikah sementara, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Inggrid tidak ingin meninggalkan dirinya.

"Jangan berisik." Kata Inggrid dengan pelan sambil terus belajar.

Memangnya gila kerja itu salah?

Randika tertawa pahit melihatnya.

Si supir taksi tertawa ketika melihat keduanya bertengkar dari kaca. "Hahaha kadang menyenangkan hatinya adalah kunci keberhasilan rumah tangga. Kalian masih muda pasti bisa mengatasinya."

Sudah sepuluh menit sejak taksi mereka berangkat dari bandara. Namun, belum ada pemandangan kota di jendela mereka. Malah, sepertinya mereka justru pergi ke tempat terpencil.

Hal ini membuat Randika merasa curiga dan bertanya. "Pak, seberapa jauh lagi hotel kami?"

"Hahaha kita masih cukup jauh." Kata si supir dengan nada menenangkan. "Maaf aku lupa memberitahu, kemarin jalan langsung menuju kota dari bandara rusak berat dan sekarang sedang diperbaiki. Jadi aku harus mengambil rute alternatif untuk bisa ke pusat kota. Tenanglah, aku akan membawa kalian ke hotel dengan selamat."

Mendengar penjelasan itu, Randika tidak berkomentar apa-apa.

"Ah pak, di kota Merak ini apakah ada tempat yang perlu dihindari?" Randika tiba-tiba bertanya.

"Tentu saja ada, semua kota rasanya memiliki tempat semacam itu."

"Oya? Bisa tolong kasih beritahu saya?"

"Hahaha, pak tua ini tidak tahu detailnya tetapi aku bisa mengatakan padamu siapa yang paling berkuasa di kota ini. Bisa dikatakan dia seperti pemilik kota ini baik buruk ataupun bagusnya. Hampir semua orang akan memberinya wajah ketika bertemu dengannya."

"Siapa orang itu?" Randika bertanya dengan nada santai tetapi posisi duduknya sedikit maju ke depan, dia perlu tahu ancaman seperti apa yang ada di kota asing ini.

"Yosua… atau lebih tepatnya Tuan Yosua."

Mendengar nama tersebut, Inggrid menjadi terlihat bingung. Dari mana dia pernah mendengar nama itu?

Randika lalu bertanya dengan santai. "Pak, kenapa kau argonya tidak jalan?"

"Ah! Sialan benar juga!" Si supir terlihat panik. "Maaf, taksi ini sudah tua dan sering rusak. Untuk biayanya nanti tidak akan kulebih-lebihkan, aku sudah sering mengantar orang ke hotel kalian jadi harganya nanti adalah harga pasaran."

"Baiklah." Randika lalu bersandar kembali.

Taksi mereka terus melaju cepat, tetapi pemandangan sekitar tidak berubah sama sekali. Justru Randika merasa tempat mereka semakin terpencil, Randika lalu bertanya. "Pak, nama gengmu apa?"

Si supir terkejut bukan main, dia lalu menoleh sambil tersenyum.

"Aku bukan anggota geng, aku hanya seorang supir. Aku akan membawa kalian ke orang-orang geng sebenarnya barulah aku bisa mendapatkan uangku." Kata si supir sambil tersenyum. Dan pada saat ini, taksi mereka tiba di suatu bangunan terlantar.

"Selamat menikmati." Si supir turun dan bersembunyi.

Randika hanya bisa tertawa pahit, dugaannya benar bahwa taksi ini bekerja sama dengan para gangster.

Ketika Inggrid tiba-tiba menyadari keanehan ini, dia terlihat panik. Randika lalu menenangkan Inggrid dengan menggenggam tangannya. "Jangan khawatir, aku ada di sini."

Saat ini, sudah banyak orang yang mengepung taksi mereka.

Randika mengerutkan matanya dan berkata pada Inggrid. "Apa pun yang terjadi, tetaplah di mobil."

Randika lalu keluar dan menampilkan muka garangnya.

Sesaat dia keluar, Randika melihat si supir berada di barisan paling belakang.

"Kak, ini dia si sapi gemuk itu." Wajah si supir yang ramah tadi berubah menjadi bengis dan kejam. "Dan perempuan yang masih duduk di dalam itu benar-benar cantik."

Orang yang diajaknya berbicara adalah Riko yang terlihat seperti pemimpin dari para gangster ini. Setelah mendengar cerita si supir, dia menatap mangsanya yang lezat itu.

"Ada perempuan di taksi itu? Bawa dia ke sini." Kata Riko ke salah satu bawahannya.

Orang itu dengan cepat maju dan menghampiri taksi tersebut. Namun, dia dengan cepat dibuat terpental oleh tendangan Randika.

Preman ini tidak menyangka Randika akan memiliki kekuatan semacam itu dan dia segera berdiri dengan cepat.

Melihat bawahannya yang terkapar itu, Riko mulai menatap Randika.

"Karena kalian berani bertindak serendah seperti ini, jangan salahkan aku jika bertindak kasar. Jangan pernah meremehkan seekor singa yang terpojok."

"Hahaha jangan serius begitu." Si supir menatapnya sambil tertawa. "Hanya istrimu saja yang akan hidup melayani kita."

��Sudah cukup bicaranya." Riko mengambil tongkat logam yang ada di sampingnya.

"Apakah tidak ada cara yang lebih bersahabat?" Randika menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada." Riko mendengus dingin.

"Sayangnya, kalian semua akan mati." Kata Randika.

"Hahaha." Semua orang tertawa, lalu Riko mengatakan. "Kau benar-benar menarik. Kita lihat seberapa banyak kau masih bisa berbicara setelah kugantung kau di tiang itu."

Randika lalu tersenyum padanya. "Kalian yakin ingn melawanku?"

Riko dengan santainya menyuruh Randika melihat sekelilingnya. "Tidakkah kau lihat betapa banyaknya kita?"

"Jumlah bukanlah segalanya." Randika tersenyum. "Sudah, kita hentikan basa-basinya. Cepat maju semua ke sini dan kuhajar kalian."

Mereka semua yang mendengar Randika benar-benar menganggap mangsanya kali ini sudah gila.

"Cukup aku seorang untuk menghajar kalian semua." Randika membuang senyumnya dan dalam sekejap dia berubah menjadi gumpalan asap!

Dalam sekejap, Randika sudah berada di tengah-tengah mereka dan berhasil menendang satu orang dengan keras. Orang tersebut terpental jauh dan menabrak teman-temannya. Pada saat yang sama, Randika sudah menghindari serangan para preman yang mendatanginya dan melayangkan pukulannya ke dada orang tersebut.

Kemudian Randika mengambil tongkat logam yang jatuh dari lawannya itu dan mulai menghajar mereka satu per satu. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh para preman tersebut.

Setiap ayunan Randika berhasil membuat pingsan satu orang. Hal terakhir yang mereka ingat adalah wajah Randika yang terlihat kejam itu sama sekali tidak berkedip.

Randika lalu menggunakan tubuh salah satu dari para preman sebagai tameng sambil menyerang. Setelah itu, dia mengangkat dan melempar tubuh tersebut ke arah kerumunan.

"Ah!" Orang itu melayang dengan cepat dan menabrak temannya.

Riko, yang berada di belakang, menatap ngeri pada Randika. Saat ini dia sedang dilindungi 4 orang terbaiknya dan dirinya sudah tidak bisa menerima penghinaan ini.

"Maju! Jangan biarkan dia berbuat semaunya." Riko benar-benar marah ketika melihat para bawahannya dengan cepat berjatuhan.

Sambil membawa tongkat logamnya, dia mendekati Randika bersama-sama dengan bawahan terbaiknya.

Saat melihat Riko sudah mendekat, Randika tersenyum lebar.

Riko menerjang Randika dengan darah yang mendidih. Namun, ketika tongkatnya menebas turun, sosok Randika sudah menghilang dari matanya.

"Ah!"

Malah bawahannya yang ada di sampingnya menghilang dan ternyata sudah terkapar sejauh 5 langkah di belakang.

Apa yang sedang terjadi?

Riko mulai ragu dengan keadaannya. Saat dia merasa ada tepukan di pundaknya, dia tidak berani menoleh sama sekali. Namun, lagi-lagi ada teriakan dari arah sampingnya!

Riko tidak tahu harus menyerang ke arah mana, dia membenci perasaan tidak berdaya seperti ini. Di sekitarnya, suara teriakan kesakitan bawahannya itu tidak berhenti dan tidak butuh waktu lama tinggal dia sendirian.

"Jangan menoleh, aku ada di belakangmu." Kata Randika dengan suara pelan.

Ketika Riko menoleh, dia disambut dengan senyuman Randika yang menakutkan itu. "Bagaimana? Masih berani bilang aku banyak omong?"

Melihat semua bawahannya terkapar di tanah, Riko tidak bisa menahan ketakutannya.

"Kalau aku jadi kamu aku tidak akan bergerak kalau kau masih sayang dengan nyawamu." Randika berteriak ke arah supir yang membawanya ke sini. Si supir berusaha kabur diam-diam, sekarang dia tidak berani melangkah satu kaki pun.

"Apa yang kau inginkan?" Riko sudah tahu bahwa hidupnya sudah tamat. Memang benar perkataan Randika tadi, jangan pernah remehkan singa yang terpojok!

"Simpel. Aku memberi kalian 2 pilihan." Kata Randika sambil tersenyum. "Pertama kalian akan memberikan uang kalian semua. Kedua aku akan mengambil uang kalian semua setelah kubunuh kamu."

"Kau!" Riko benar-benar marah, sekarang dialah yang dirampok!

"Seekor semut tidak punya hak berbicara di depan seekor singa." Di bawah kaki Randika tergeletak sebuah pisau. Pisau tersebut tiba-tiba melayang dan terlempar ke arah kepala Riko!

Tap the screen to use advanced tools Tip: You can use left and right keyboard keys to browse between chapters.

You'll Also Like